Happy Reading Starbucks Strawberries & Crème Frappuccino

Sabtu, 02 Mei 2020

ANALISIS KASUS MENGENAI ETIKA MENGGUNAKAN INTERNET


ANALISIS KASUS MENGENAI  ETIKA MENGGUNAKAN INTERNET
Studi tentang Cyberbullying di Kalangan Remaja
3 Ways Platforms are Tackling Cyberbullying

Oleh: Salsabila Fristia
NPM: 16518482

Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
Tahun Akademik 2018/2019


Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat membuat individu lebih mudah untuk mengakses berbagai fitur untuk mempermudah proses komunikasi. Bahkan saat ini berbagai aplikasi jejaring sosial dapat diakses dengan sangat mudah dan murah. Asalkan memiliki akses teknologi dengan internet. Mengakses internet sudah menjadi rutinitas di masyarakat. Menurut Ramadhan (2005), Internet merupakan sebuah sistem komunikasi yang mampu menghubungkan jaringan-jaringan komputer di seluruh dunia. Beberapa bentuk jaringan yang berbeda dapat bertukar informasi melalui perangkat yang disebut protokol TCP/IP.
Munculnya internet merupakan salah satu penemuan yang berharga, karena dengan menggunakan internet seseorang bisa mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan, dan dapat berkomunikasi dengan siapapun walaupun berjarak jauh. Seiring berjalannya waktu, akses internet menjadi semakin mudah. Melalui layanan-layanan yang ada di internet seperti jejaring sosial dapat menghubungkan individu dengan orang lain, sehingga dapat berinteraksi dengan tidak harus bertemu langsung maupun bertatap muka secara langsung. Sehingga individu dapat berkomunikasi dan bergaul secara bebas dengan orang lain.
Seperti halnya berkomunikasi secara langsung yang memiliki norma atau ada etika. Berkomunikasi dengan internet melalui jejaring sosial juga ada aturannya dengan memperhatikan norma yang berlaku di sosial. Seperti menjaga perilaku agar tidak melukai pihak manapun, karena pada dasarnya semua manusia mempunyai perasaan. Jika pengguna jejaring sosial kurang bijak, maka terjadi dampak negatif bagi penggunanya. Dampak negatif dari orang-orang yang kurang bijak dalam menggunakan internet salah satunya adalah terjadinya Cyberbullying. Kenyataan yang terjadi dilapangan banyak para remaja yang terlibat kasus Cyberbullying, baik sebagai pelaku maupun korban.
Hal ini diperkuat dengan terjadinya fenomena kejahatan yang dialami oleh gadis umur 15 tahun di Kanada bernama Amanda Michelle Todd yang melakukan bunuh diri akibat cyberbullying. Singkat cerita, Amanda merupakan seorang pelajar yang memiliki hobi menyanyi sejak kecil, sampai akhirnya ia menemukan sebuah situs di internet yang dapat melakukan live melalui webcam. Amanda menjadi tertarik untuk menunjukan bakat menyanyinya di situs tersebut. Awalnya Amanda hanya menyanyi, sampai akhirnya ada seorang pria dewasa yang menjadi penggemar beratnya Amanda, dan meminta ia menari lebih banyak. Karena Amanda mendapatkan banyak pujian mengenai suara dan tariannya, Amanda menjadi terlena hingga ia mau menunjukkan dadanya tanpa penutup kepada pria tersebut. Suatu hari, pria tersebut menggunggah foto Amanda di sebuah situs porno, hingga akhirnya foto kontroversial dan data dirinya telah tersebar online. Hal ini lah yang menyebabkan Amanda menjadi korban cyberbullying. Ejekan dari teman-temannya terus-menerus dilakukan lewat jejaring sosial, sehingga gadis tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Cyberbullying merupakan salah satu bentuk dari bullying. Kesamaan antara bullying dan cyberbullying yaitu keduanya dapat menyebabkan penderitaan bagi para korban, keduanya berawal dari kurangnya pengawasan orang tua (Cassidy, Faucher, & Jackson, 2013). Cyberbullying sendiri merupakan pencemaran nama baik dalam bentuk tulisan ataupun gambar, baik berupa foto maupun video melalui internet, smartphone, atau melalui media elektronik lainnya (Kowalski, Limber, & Agatson, 2012). Bentuk dari tindakan cyberbullying ada beberapa macam yaitu menghina, mengunggah foto, bahkan sampai melakukan akses pada akun media sosial orang lain, baik melalui e-mail dan melalui situs web untuk menyebarkan ketidakbenaran agar korban merasa terintimidasi (Rifauddin, 2016).
Remaja rentan terkena dampak cyberbullying karena remaja berada dalam tahap perkembangan peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Tahap perkembangan remaja mengharuskan individu menemukan identitas diri melalui eksplorasi dan penilaian karakteristik psikologis diri sendiri sebagai upaya untuk dapat diterima sebagai bagian dari lingkungan, Sebagian remaja mampu melewati masa peralihan ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami kenakalan remaja mulai dari kenakalan ringan hingga kriminal, termasuk di dalamnya kenakalan-kenakalan berbentuk cyberbullying.
Berdasarkan tahap perkembangan, masa remaja merupakan masa perkembangan transisi, dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang cenderung perubahan kognitif dan sosio-emosional (Santrock,2003). Menurut Santrock (2003), para ahli perkembangan membagi masa remaja menjadi dua kelompok, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja akhir (late adolescene) terjadi pada usia 15-20 tahun. Pada masa remaja, terjadi perubahan-perubahan pada remaja yaitu perubahan kognitif dan sosio-emosional. Menurut Piaget, perubahan kognitif pada remaja berada pada tahap berpikir formal operational. Pada masa ini muncul proses pemecahan masalah yang dinamakan penalaran hipotetikal deduktif yaitu konsep yang menyatakan bahwa remaja memiliki kemampuan kognitif untuk mengembangkan hipotesis, atau memperkirakan cara pemecahan masalah (Santrock, 2003).
Meskipun meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran dari remaja dapat mempersiapkan mereka untuk dapat mengatasi stress dan fluktuasi emosional secara efektif, banyak remaja tidak dapat mengelola emosinya secara lebih efektif. Sebagai akibatnya, mereka rentan untuk mengalami depresi, kemarahan, kurang mampu meregulasi emosinya, yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai masalah (Santrock, 2007: 202), dapat dikatakan bahwa masa remaja merupakan masa dimana fluktuasi emosi lebih sering terjadi. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh perubahan hormon, namun lingkungan juga memberikan pengaruh yang cukup besar bagi tindakan yang akan dilakukan oleh remaja, seperti apakah remaja akan melakukan cyberbullying, atau justru menjadi korban cyberbullying.
Selain dari faktor bahwa remaja berada pada masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa sehingga berpotensi menjadi korban ataupun pelaku bullying, interaksi remaja dengan orang tuanya juga diduga memegang peran penting dalam menekankan perilaku cyberbullying. Salah satunya adalah melalui komunikasi yang positif antara orang tua dengan remaja. Kualitas komunikasi orang tua dan remaja seharusnya dapat berjalan maksimal agar remaja mendapat bimbingan dan pendidikan untuk terhindar dari perilaku cyberbullying. Menurut Gunawan (2013), Buruknya kualitas komunikasi orang tua dengan remaja dapat menjadi faktor penyebab penyimpangan perilaku remaja. Hubungan antara orang tua dan anak dapat menentukan tingkat perkembangan emosi anak mulai dari masa kecil hingga masa remaja (Israel, 2009). Keluarga yang memfasilitasi remaja untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi yang baik terbukti berhubungan positif dengan perkembangan moralnya.
Hasil penelitian Diana & Retnowati (2009) menunjukkan bahwa semakin rendah komunikasi orang tua dengan remaja maka semakin tinggi agresivitas remaja seperti perilaku cyberbullying. Temuan-temuan sebelumnya mengindikasikan bahwa cyberbullying merupakan sebuah fenomena kenakalan yang semakin beresiko terjadi pada remaja karena penggunaan teknologi yang berkembang pesat seperti saat ini. Hasil penelitian sebelumnya telah menemukan dampak negatif dari cyberbullying dan menekankan pentingnya faktor komunikasi antara anak dengan orang tua. Luk et al. (2010) menyebutkan bahwa komunikasi orang tua dan remaja yang kurang optimal akan menyebabkan remaja mudah terpengaruh perilaku menyimpang. Selain itu, Kurangnya komunikasi dengan orangtua membuat remaja rentan menjadi korban cyberbullying karena banyak yang tidak bercerita kepada orangtuanya mengenai apa yang terjadi atas dirinya. Sehingga banyak orangtua yang tidak mengetahui bahwa anak-anak mereka terkena cyberbullying. Hal ini yang menyebabkan cyberbullying sulit diprediksi dan tidak terlihat karena sedikitnya potensi pelaporan, dimana korban enggan untuk mencari pertolongan.
Dalam buku Celebrate Your Wierdness, Ada 6 (enam) kategori umum dari cyberbullying (Herry, 2014 : 8-10), yaitu: a. Flaming ; Tindakan provokasi, mengejek, ataupun penghinaan yang menyinggung orang lain. Flaming bisa berarti mempengaruhi sehingga terjadi perdebatan. b. Online Harassment ; Berulang kali mengirimkan pesan atau meneror pihak lain dengan pesan yang dapat menyakiti melalui media komunikasi online. c. Outing ; Mengirimkan data pribadi seperti foto, video bahkan pesan text korban yang bertujuan untuk mengolok-olok korban. d. Dinegration ; Mengirim pesan tidak benar atau memfitnah secara kejam tentang seseorang kepada orang lain, atau menyebarkan foto atau video secara online. e. Masquerade ; Mengganggu orang lain dengan menggunakan identitas palsu dalam mem-bully. f. Exclusion ; Mengucilkan seseorang dari online group atau forum, seperti ketika salah satu remaja tidak ikut sebuah group chat dikarenakan teman- temannya tidak menyukainya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ditemukan dua dari lima remaja yang memiliki kategori perilaku cyberbullying di atas rata-rata remaja lainnya. Penelitian Rahayu (2012) menemukan alasan remaja melakukan cyberbullying dikarenakan iseng saja, dan kejadian ini akan berefek kepada korban yang merasakan. Selain itu, hasil dalam penelitian tersebut juga menyatakan bahwa remaja relatif masih baru mengenal dan belum memahami istilah cyberbullying sehingga sebagian remaja merasa hal itu wajar dilakukan. Perilaku cyberbullying yang paling sering dilakukan oleh remaja dalam penelitian ini adalah mengucilkan seseorang dari kelompoknya secara online, atau yang disebut sebagai exclution.
Dalam aksi cyberbullying ini, setiap remaja memiliki perannya masing-masing yaitu bully, asisten bully, reinfocer, defender, dan outsider. Bully yaitu remaja yang dikategorikan sebagai pemimpin, berinisiatif dan aktif terlibat bullying. Asisten bully, juga terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia cenderung bergantung atau mengikuti perintah bully. Reinfocer adalah mereka ketika kejadian bully terjadi, ikut menyaksikan, menertawakan korban, memprofokasi bully, mengajak teman lain untuk menonton dan sebagainya. Defender adalah orang-orang yang berusaha membela dan membantu korban, sering kali akhirnya mereka menjadi korban juga. Outsider adalah orang-orang yang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak melakukan apapun, seolah-olah tidak peduli. (Wiyani, 2012)
Sikap remaja terhadap cyberbullying dapat positif atau negatif. Positif yang dimaksudkan disini adalah pemikiran setuju atau pemikiran yang baik terhadap tindakan cyberbullying dan negatif artinya remaja berpikir bahwa cyberbullying adalah hal yang buruk atau negatif. Hal tersebut sekiranya dapat dipengaruhi oleh tiga aspek sikap, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif merupakan bagaimana pengetahuan, pemahaman remaja mengenai cyberbullying. Remaja yang memiliki komponen kognitif yang positif adalah remaja yang memiliki pemahaman bahwa aksi cyberbullying boleh dilakukan kepada orang-orang tertentu yang ingin dijadikan sebagai target. Berbeda dengan remaja yang memiliki kognisi negatif, dirinya memiliki pemahaman serta keyakinan bahwa aksi-aksi cyberbullying dapat memberikan dampak buruk terhadap orang lain.
Komponen afektif merujuk pada perasaan-perasaan subjek terhadap aksi-aksi cyberbullying. Remaja yang memiliki komponen afektif yang positif terhadap aksi cyberbullying akan cenderung memiliki perasaan-perasaan seperti perasaan senang dan puas ketika melihat target menjadi menderita. Sedangkan remaja yang memiliki komponen afektif yang negatif terhadap aksi cyberbullying akan memiliki perasaan-perasaan seperti sedih dan kecewa sehingga cenderung menghindari cyberbullying dan tidak ingin melakukannya pada siapapun, karena ia merasakan bahwa menjadi korban cyberbullying itu sangat menderita. Komponen konatif merupakan kecenderungan tingkah laku remaja terhadap cyberbullying. Remaja yang memiliki komponen konatif yang positif terhadap cyberbullying akan cenderung mendukung melakukan aksi tersebut. Sedangkan remaja yang memiliki komponen konatif yang negatif akan cenderung menolak untuk melakukan cyberbullying.
Perilaku cyberbullying dapat memberikan dampak negatif, antara lain korban mengalami depresi, kecemasan, ketidaknyamanan, prestasi di sekolah menurun, tidak mau bergaul dengan teman-teman sebaya, menghindar dari lingkungan sosial, dan adanya upaya bunuh diri. Cyberbullying yang dialami remaja secara berkepanjangan akan menimbulkan stres berat, melumpuhkan rasa percaya diri sehingga memicunya untuk melakukan tindakan-tindakan menyimpang seperti mencontek, membolos, kabur dari rumah, bahkan sampai minum minuman keras atau menggunakan narkoba. Cyberbullying juga dapat membuat mereka menjadi murung, dilanda rasa khawatir, dan selalu merasa bersalah atau gagal. Sedangkan dampak yang paling menakutkan adalah apabila korban cyberbullying sampai berpikir untuk mengakhiri hidupnya (bunuh diri) oleh karena tidak mampu menghadapi masalah yang tengah dihadapinya.
Menurut Agaston dkk., terdapat beberapa pembahasan mengenai dampak psikologis yang dialami korban, yaitu merasa sedih, merasa terluka, marah, frustrasi, kebingungan, stres, merasa kesusahan, dan kesepian. Dampak lain yang lebih nyata seperti, depresi, rendah diri, ketidakberdayaan, kecemasan sosial, keinginan untuk bunuh diri, ketakutan, merasa lemah dan sendirian, harga diri menjadi rendah, kerenggangan hubungan, masalah emosional dan masalah pertemanan (Cassidy, Faucher, Jackson, 2013). Dampak lainnya yaitu individu kehilangan privasinya, hal ini dikarenakan cyberbullying yang diterima dapat disaksikan oleh publik dari berbagai kalangan atau teman-teman yang mengetahui hal tersebut, individu merasa tidak bebas dalam bermedia sosial atau berinteraksi di dunia maya. Individu juga kehilangan kepercayaan pada orang lain seiring dengan adanya privasi yang hilang, 5 hal tersebut yang mengakibatkan individu menutup dirinya (Wangid, 2016). Sejumlah besar cyberbullying dapat membuat korban mendapatkan konsekuensi berbahaya seperti gejala psikosomatik, perilaku anti sosial bahkan hingga bunuh diri (Chen, Ho, & Lwin, 2016).
Kekerasan cyberbullying pada remaja apabila tidak segera diselesaikan dengan baik dihawatirkan akan muncul perilaku negatif yang berakibat fatal. Maka tindakan-tindakan preventif harus segera dilakukan untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut. Peran keluarga dan bimbingan orang tua sangat diperlukan misalnya dengan mendampingi anak saat menggunakan alat komunikasi serta membiasakan untuk bersikap terbuka antar masing-masing anggota keluarga agar anak terhindar menjadi korban cyberbullying. serta Komunikasi dengan anak dan orang tua diharapkan dapat menyalurkan nilai-nilai positif sehingga anak dapat terhindar dari berbagai perilaku menyimpang, seperti menjadi pelaku bullying.
Di samping adanya peran orang tua, tindakan preventif akan berjalan dengan baik atas tindakan preventif melalui pendidikan etika. Etika yang perlu diperhatikan dalam menggunakan internet antara lain tidak memposting tulisan, gambar maupun video yang berbau SARA atau menyinggung pihak lain, berkomentar dengan baik tanpa menggunakan kata-kata kasar atau menyakiti perasaan orang lain, berkomunikasi dengan sopan, mampu membedakan obrolan pribadi atau publik, dan menghargai privasi orang lain dengan tidak mengunggah foto atau video yang memalukan bagi orang lain. Selain itu, mentaati undang-undang juga bisa dikatakan sebagai mentaati etika, Sebagai pengguna teknologi informasi sudah sepatutnya memperhatikan etika bermedia sosial dengan mematuhi undang-undang yang berlaku agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti menjadi korban ataupun pelaku cyberbullying.


Sumber Rujukan :
Cassidy, W., Faucher, C., & Jackson, M. (2013). Cyberbullying Among Youth: A Comprehensive Review of Current International Research and its Implications and Application to Policy and Practice. School Psychology International, 34(6), 575–612. https://doi.org/10.1177/0143034313479697
Chen, L., Ho, S. S., & Lwin, M. O. (2016). A meta-analysis of Factors Predicting Cyberbullying Perpetration and Victimization: From the Social Cognitive and Media Effects Approach. New Media and Society, 19(8), 1–20. https://doi.org/10.1177/1461444816634037
Diana, R.R., & Retnowati, S. (2009). Komunikasi remaja-orang tua dan agresivitas pelajar. Jurnal Psikologi, 2(2):1-6.
Gunawan, H. (2013). Jenis pola komunikasi orang tua dengan anak perokok aktif di Desa Jembayan Kecaatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara. eJournal Ilmu Komunikasi 1(3):1-5
Herry, Ilham.2014. (2015). Perilaku Cyberbullying Remaja Pada Situs Jejaring Social. Bandung, Universitas Komputer Indonesia. Hal : 8-10
Israel, D. (2009). Staying in School: Arts Education and New York City High School Graduation Rates. New York, NY: Center for Arts Education.
Kowalski, R. M., Limber, S. P., & Agatson, P. W. (2012). Cyberbullying Bullying in The Digital Age. UK: Blackwell Publishing.
Luk, J.W., Farhat, T., Iannotti, R.J., & Morton, B.G. (2010). Parent-child communication and substance use among adolescents: do father and mother communication play a different role for sons and daughters?. Addictive Behaviors, 35:426-431.
Rahayu, F.S. (2012). Cyberbullying sebagai dampak negative penggunaan teknologi informasi. Jurnal Sistem Informasi. 8(I). 22-29
Ramadhan, Arief. (2005). SQL Server dan Visual Basic 6.0. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Santrock, J.W. (2007). Remaja Edisi 11 Jilid 1. Erlangga : Jakarta
Santrock (2003) John W. Adolescence. Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Wangid, M. N. (2016). Cyberbullying: Student’s Behavior in Virtual Worlds. Jurnal of Guidance and Counseling, 6(1), 38–48. https://doi.org/10.24127/gdn.v6i1.412
Wiyani, Novan A. (2012). Save Our Children From School Bullying. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.


0 komentar:

Posting Komentar