ANALISIS KASUS MENGENAI ETIKA MENGGUNAKAN INTERNET
Studi
tentang Cyberbullying di Kalangan
Remaja
Studi tentang Cyberbullying di Kalangan Remaja
Oleh: Salsabila Fristia
NPM: 16518482
Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
Tahun Akademik 2018/2019
Perkembangan
teknologi informasi yang sangat pesat membuat individu lebih mudah untuk
mengakses berbagai fitur untuk mempermudah proses komunikasi. Bahkan saat ini
berbagai aplikasi jejaring sosial dapat diakses dengan sangat mudah dan murah.
Asalkan memiliki akses teknologi dengan internet. Mengakses internet sudah
menjadi rutinitas di masyarakat. Menurut Ramadhan (2005), Internet merupakan sebuah
sistem komunikasi yang mampu menghubungkan jaringan-jaringan komputer di
seluruh dunia. Beberapa bentuk jaringan yang berbeda dapat bertukar informasi
melalui perangkat yang disebut protokol TCP/IP.
Munculnya
internet merupakan salah satu penemuan yang berharga, karena dengan menggunakan
internet seseorang bisa mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan, dan
dapat berkomunikasi dengan siapapun walaupun berjarak jauh. Seiring berjalannya
waktu, akses internet menjadi semakin mudah. Melalui layanan-layanan yang ada
di internet seperti jejaring sosial dapat menghubungkan individu
dengan orang lain, sehingga dapat berinteraksi dengan tidak harus bertemu
langsung maupun bertatap muka secara langsung. Sehingga individu dapat berkomunikasi
dan bergaul secara bebas dengan orang lain.
Seperti
halnya berkomunikasi secara langsung yang memiliki norma atau ada etika.
Berkomunikasi dengan internet melalui jejaring sosial juga ada aturannya dengan
memperhatikan norma yang berlaku di sosial. Seperti menjaga perilaku agar tidak
melukai pihak manapun, karena pada dasarnya semua manusia mempunyai perasaan. Jika
pengguna jejaring sosial kurang bijak, maka terjadi dampak negatif bagi
penggunanya. Dampak negatif dari orang-orang yang kurang bijak dalam
menggunakan internet salah satunya adalah terjadinya Cyberbullying. Kenyataan yang terjadi dilapangan banyak para remaja
yang terlibat kasus Cyberbullying,
baik sebagai pelaku maupun korban.
Hal
ini diperkuat dengan terjadinya fenomena kejahatan yang dialami oleh gadis umur
15 tahun di Kanada bernama Amanda Michelle Todd yang melakukan bunuh diri
akibat cyberbullying. Singkat cerita,
Amanda merupakan seorang pelajar yang memiliki hobi menyanyi sejak kecil,
sampai akhirnya ia menemukan sebuah situs di internet yang dapat melakukan live melalui webcam. Amanda menjadi
tertarik untuk menunjukan bakat menyanyinya di situs tersebut. Awalnya Amanda
hanya menyanyi, sampai akhirnya ada seorang pria dewasa yang menjadi penggemar
beratnya Amanda, dan meminta ia menari lebih banyak. Karena Amanda mendapatkan
banyak pujian mengenai suara dan tariannya, Amanda menjadi terlena hingga ia mau
menunjukkan dadanya tanpa penutup kepada pria tersebut. Suatu hari, pria
tersebut menggunggah foto Amanda di sebuah situs porno, hingga akhirnya foto
kontroversial dan data dirinya telah tersebar online. Hal ini lah yang menyebabkan Amanda menjadi korban cyberbullying. Ejekan dari
teman-temannya terus-menerus dilakukan lewat jejaring sosial, sehingga gadis
tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Cyberbullying
merupakan salah satu bentuk dari bullying.
Kesamaan antara bullying dan cyberbullying
yaitu keduanya dapat menyebabkan penderitaan bagi para korban, keduanya berawal
dari kurangnya pengawasan orang tua (Cassidy, Faucher, & Jackson, 2013). Cyberbullying sendiri merupakan
pencemaran nama baik dalam bentuk tulisan ataupun gambar, baik berupa foto
maupun video melalui internet, smartphone, atau melalui media elektronik
lainnya (Kowalski, Limber, & Agatson, 2012). Bentuk dari tindakan cyberbullying ada beberapa macam yaitu
menghina, mengunggah foto, bahkan sampai melakukan akses pada akun media sosial
orang lain, baik melalui e-mail dan melalui situs web untuk menyebarkan
ketidakbenaran agar korban merasa terintimidasi (Rifauddin, 2016).
Remaja
rentan terkena dampak cyberbullying
karena remaja berada dalam tahap perkembangan peralihan dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa. Tahap perkembangan remaja mengharuskan individu menemukan
identitas diri melalui eksplorasi dan penilaian karakteristik psikologis diri
sendiri sebagai upaya untuk dapat diterima sebagai bagian dari lingkungan, Sebagian
remaja mampu melewati masa peralihan ini dengan baik, namun beberapa remaja
bisa jadi mengalami kenakalan remaja mulai dari kenakalan ringan hingga
kriminal, termasuk di dalamnya kenakalan-kenakalan berbentuk cyberbullying.
Berdasarkan
tahap perkembangan, masa remaja merupakan masa perkembangan transisi, dalam
rentang kehidupan manusia, menghubungkan antara masa kanak-kanak dan dewasa
yang cenderung perubahan kognitif dan sosio-emosional (Santrock,2003). Menurut
Santrock (2003), para ahli perkembangan membagi masa remaja menjadi dua
kelompok, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja akhir (late adolescene) terjadi pada usia
15-20 tahun. Pada masa remaja, terjadi perubahan-perubahan pada remaja yaitu
perubahan kognitif dan sosio-emosional. Menurut Piaget, perubahan kognitif pada
remaja berada pada tahap berpikir formal
operational. Pada masa ini muncul proses pemecahan masalah yang dinamakan
penalaran hipotetikal deduktif yaitu konsep yang menyatakan bahwa remaja
memiliki kemampuan kognitif untuk mengembangkan hipotesis, atau memperkirakan
cara pemecahan masalah (Santrock, 2003).
Meskipun
meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran dari remaja dapat mempersiapkan
mereka untuk dapat mengatasi stress dan fluktuasi emosional secara efektif,
banyak remaja tidak dapat mengelola emosinya secara lebih efektif. Sebagai
akibatnya, mereka rentan untuk mengalami depresi, kemarahan, kurang mampu
meregulasi emosinya, yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai masalah
(Santrock, 2007: 202), dapat dikatakan bahwa masa remaja merupakan masa dimana
fluktuasi emosi lebih sering terjadi. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh
perubahan hormon, namun lingkungan juga memberikan pengaruh yang cukup besar
bagi tindakan yang akan dilakukan oleh remaja, seperti apakah remaja akan
melakukan cyberbullying, atau justru
menjadi korban cyberbullying.
Selain
dari faktor bahwa remaja berada pada masa peralihan dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa sehingga berpotensi menjadi korban ataupun pelaku bullying, interaksi remaja dengan orang
tuanya juga diduga memegang peran penting dalam menekankan perilaku cyberbullying. Salah satunya adalah
melalui komunikasi yang positif antara orang tua dengan remaja. Kualitas
komunikasi orang tua dan remaja seharusnya dapat berjalan maksimal agar remaja
mendapat bimbingan dan pendidikan untuk terhindar dari perilaku cyberbullying. Menurut Gunawan
(2013), Buruknya kualitas komunikasi orang tua dengan remaja dapat menjadi
faktor penyebab penyimpangan perilaku remaja. Hubungan antara orang tua dan
anak dapat menentukan tingkat perkembangan emosi anak mulai dari masa kecil
hingga masa remaja (Israel, 2009). Keluarga yang memfasilitasi remaja untuk
mengembangkan kemampuan berkomunikasi yang baik terbukti berhubungan positif
dengan perkembangan moralnya.
Hasil
penelitian Diana & Retnowati (2009) menunjukkan bahwa semakin rendah
komunikasi orang tua dengan remaja maka semakin tinggi agresivitas remaja
seperti perilaku cyberbullying.
Temuan-temuan sebelumnya mengindikasikan bahwa cyberbullying merupakan sebuah fenomena kenakalan yang semakin
beresiko terjadi pada remaja karena penggunaan teknologi yang berkembang pesat
seperti saat ini. Hasil penelitian sebelumnya telah menemukan dampak negatif
dari cyberbullying dan menekankan
pentingnya faktor komunikasi antara anak dengan orang tua. Luk et al. (2010)
menyebutkan bahwa komunikasi orang tua dan remaja yang kurang optimal akan
menyebabkan remaja mudah terpengaruh perilaku menyimpang. Selain itu, Kurangnya
komunikasi dengan orangtua membuat remaja rentan menjadi korban cyberbullying karena banyak yang tidak
bercerita kepada orangtuanya mengenai apa yang terjadi atas dirinya. Sehingga
banyak orangtua yang tidak mengetahui bahwa anak-anak mereka terkena cyberbullying. Hal ini yang menyebabkan cyberbullying sulit diprediksi dan tidak
terlihat karena sedikitnya potensi pelaporan, dimana korban enggan untuk
mencari pertolongan.
Dalam
buku Celebrate Your Wierdness, Ada 6 (enam) kategori umum dari cyberbullying (Herry, 2014 : 8-10),
yaitu: a. Flaming ; Tindakan provokasi, mengejek, ataupun penghinaan yang
menyinggung orang lain. Flaming bisa berarti mempengaruhi sehingga terjadi
perdebatan. b. Online Harassment ; Berulang kali mengirimkan pesan atau meneror
pihak lain dengan pesan yang dapat menyakiti melalui media komunikasi online. c. Outing ; Mengirimkan data pribadi
seperti foto, video bahkan pesan text korban yang bertujuan untuk mengolok-olok
korban. d. Dinegration ; Mengirim
pesan tidak benar atau memfitnah secara kejam tentang seseorang kepada orang
lain, atau menyebarkan foto atau video secara online. e. Masquerade ; Mengganggu orang lain dengan menggunakan identitas
palsu dalam mem-bully. f. Exclusion ; Mengucilkan seseorang
dari online group atau forum, seperti ketika salah satu remaja tidak ikut
sebuah group chat dikarenakan teman- temannya tidak menyukainya.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa masih ditemukan dua dari lima remaja yang memiliki
kategori perilaku cyberbullying di
atas rata-rata remaja lainnya. Penelitian Rahayu (2012) menemukan alasan remaja
melakukan cyberbullying dikarenakan
iseng saja, dan kejadian ini akan berefek kepada korban yang merasakan. Selain
itu, hasil dalam penelitian tersebut juga menyatakan bahwa remaja relatif masih
baru mengenal dan belum memahami istilah cyberbullying
sehingga sebagian remaja merasa hal itu wajar dilakukan. Perilaku cyberbullying yang paling sering
dilakukan oleh remaja dalam penelitian ini adalah mengucilkan seseorang dari kelompoknya
secara online, atau yang disebut sebagai exclution.
Dalam
aksi cyberbullying ini, setiap remaja
memiliki perannya masing-masing yaitu bully,
asisten bully, reinfocer, defender, dan outsider. Bully yaitu remaja yang dikategorikan sebagai pemimpin,
berinisiatif dan aktif terlibat bullying.
Asisten bully, juga terlibat aktif
dalam perilaku bullying, namun ia
cenderung bergantung atau mengikuti perintah bully. Reinfocer adalah
mereka ketika kejadian bully terjadi,
ikut menyaksikan, menertawakan korban, memprofokasi bully, mengajak teman lain untuk menonton dan sebagainya. Defender adalah orang-orang yang
berusaha membela dan membantu korban, sering kali akhirnya mereka menjadi
korban juga. Outsider adalah
orang-orang yang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak melakukan apapun,
seolah-olah tidak peduli. (Wiyani, 2012)
Sikap
remaja terhadap cyberbullying dapat
positif atau negatif. Positif yang dimaksudkan disini adalah pemikiran setuju
atau pemikiran yang baik terhadap tindakan cyberbullying
dan negatif artinya remaja berpikir bahwa cyberbullying
adalah hal yang buruk atau negatif. Hal tersebut sekiranya dapat dipengaruhi
oleh tiga aspek sikap, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif
merupakan bagaimana pengetahuan, pemahaman remaja mengenai cyberbullying. Remaja yang memiliki komponen kognitif yang positif
adalah remaja yang memiliki pemahaman bahwa aksi cyberbullying boleh dilakukan kepada orang-orang tertentu yang
ingin dijadikan sebagai target. Berbeda dengan remaja yang memiliki kognisi
negatif, dirinya memiliki pemahaman serta keyakinan bahwa aksi-aksi cyberbullying dapat memberikan dampak
buruk terhadap orang lain.
Komponen
afektif merujuk pada perasaan-perasaan subjek terhadap aksi-aksi cyberbullying. Remaja yang memiliki
komponen afektif yang positif terhadap aksi cyberbullying
akan cenderung memiliki perasaan-perasaan seperti perasaan senang dan puas
ketika melihat target menjadi menderita. Sedangkan remaja yang memiliki
komponen afektif yang negatif terhadap aksi cyberbullying
akan memiliki perasaan-perasaan seperti sedih dan kecewa sehingga cenderung
menghindari cyberbullying dan tidak
ingin melakukannya pada siapapun, karena ia merasakan bahwa menjadi korban cyberbullying itu sangat menderita. Komponen
konatif merupakan kecenderungan tingkah laku remaja terhadap cyberbullying. Remaja yang memiliki
komponen konatif yang positif terhadap cyberbullying
akan cenderung mendukung melakukan aksi tersebut. Sedangkan remaja yang
memiliki komponen konatif yang negatif akan cenderung menolak untuk melakukan cyberbullying.
Perilaku
cyberbullying dapat memberikan dampak
negatif, antara lain korban mengalami depresi, kecemasan, ketidaknyamanan,
prestasi di sekolah menurun, tidak mau bergaul dengan teman-teman sebaya,
menghindar dari lingkungan sosial, dan adanya upaya bunuh diri. Cyberbullying yang dialami remaja secara
berkepanjangan akan menimbulkan stres berat, melumpuhkan rasa percaya diri
sehingga memicunya untuk melakukan tindakan-tindakan menyimpang seperti
mencontek, membolos, kabur dari rumah, bahkan sampai minum minuman keras atau
menggunakan narkoba. Cyberbullying
juga dapat membuat mereka menjadi murung, dilanda rasa khawatir, dan selalu
merasa bersalah atau gagal. Sedangkan dampak yang paling menakutkan adalah
apabila korban cyberbullying sampai
berpikir untuk mengakhiri hidupnya (bunuh diri) oleh karena tidak mampu
menghadapi masalah yang tengah dihadapinya.
Menurut
Agaston dkk., terdapat beberapa pembahasan mengenai dampak psikologis yang
dialami korban, yaitu merasa sedih, merasa terluka, marah, frustrasi,
kebingungan, stres, merasa kesusahan, dan kesepian. Dampak lain yang lebih
nyata seperti, depresi, rendah diri, ketidakberdayaan, kecemasan sosial,
keinginan untuk bunuh diri, ketakutan, merasa lemah dan sendirian, harga diri
menjadi rendah, kerenggangan hubungan, masalah emosional dan masalah pertemanan
(Cassidy, Faucher, Jackson, 2013). Dampak lainnya yaitu individu kehilangan
privasinya, hal ini dikarenakan cyberbullying
yang diterima dapat disaksikan oleh publik dari berbagai kalangan atau
teman-teman yang mengetahui hal tersebut, individu merasa tidak bebas dalam
bermedia sosial atau berinteraksi di dunia maya. Individu juga kehilangan
kepercayaan pada orang lain seiring dengan adanya privasi yang hilang, 5 hal
tersebut yang mengakibatkan individu menutup dirinya (Wangid, 2016). Sejumlah
besar cyberbullying dapat membuat
korban mendapatkan konsekuensi berbahaya seperti gejala psikosomatik, perilaku
anti sosial bahkan hingga bunuh diri (Chen, Ho, & Lwin, 2016).
Kekerasan
cyberbullying pada remaja apabila
tidak segera diselesaikan dengan baik dihawatirkan akan muncul perilaku negatif
yang berakibat fatal. Maka tindakan-tindakan preventif harus segera dilakukan
untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut. Peran keluarga dan bimbingan
orang tua sangat diperlukan misalnya dengan mendampingi anak saat menggunakan
alat komunikasi serta membiasakan untuk bersikap terbuka antar masing-masing
anggota keluarga agar anak terhindar menjadi korban cyberbullying. serta Komunikasi dengan anak dan orang tua
diharapkan dapat menyalurkan nilai-nilai positif sehingga anak dapat terhindar
dari berbagai perilaku menyimpang, seperti menjadi pelaku bullying.
Di
samping adanya peran orang tua, tindakan preventif akan berjalan dengan baik
atas tindakan preventif melalui pendidikan etika. Etika yang perlu diperhatikan
dalam menggunakan internet antara lain tidak memposting tulisan, gambar maupun
video yang berbau SARA atau menyinggung pihak lain, berkomentar dengan baik
tanpa menggunakan kata-kata kasar atau menyakiti perasaan orang lain,
berkomunikasi dengan sopan, mampu membedakan obrolan pribadi atau publik, dan
menghargai privasi orang lain dengan tidak mengunggah foto atau video yang
memalukan bagi orang lain. Selain itu, mentaati undang-undang
juga bisa dikatakan sebagai mentaati etika, Sebagai pengguna teknologi
informasi sudah sepatutnya memperhatikan etika bermedia sosial dengan mematuhi
undang-undang yang berlaku agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan
seperti menjadi korban ataupun pelaku cyberbullying.
Sumber
Rujukan :
Cassidy, W., Faucher, C., & Jackson,
M. (2013). Cyberbullying Among Youth:
A Comprehensive Review of Current International Research and its Implications
and Application to Policy and Practice. School
Psychology International, 34(6), 575–612.
https://doi.org/10.1177/0143034313479697
Chen, L., Ho, S. S., & Lwin, M. O.
(2016). A meta-analysis of Factors Predicting Cyberbullying Perpetration and Victimization: From the Social
Cognitive and Media Effects Approach. New
Media and Society, 19(8), 1–20. https://doi.org/10.1177/1461444816634037
Diana, R.R., & Retnowati, S. (2009).
Komunikasi remaja-orang tua dan agresivitas pelajar. Jurnal Psikologi,
2(2):1-6.
Gunawan, H. (2013). Jenis pola
komunikasi orang tua dengan anak perokok aktif di Desa Jembayan Kecaatan Loa
Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara. eJournal
Ilmu Komunikasi 1(3):1-5
Herry, Ilham.2014. (2015). Perilaku Cyberbullying Remaja Pada Situs
Jejaring Social. Bandung, Universitas Komputer Indonesia. Hal : 8-10
Israel, D. (2009). Staying in School: Arts Education and New York City High School
Graduation Rates. New York, NY: Center for Arts Education.
Kowalski, R. M., Limber, S. P., &
Agatson, P. W. (2012). Cyberbullying
Bullying in The Digital Age. UK: Blackwell Publishing.
Luk, J.W., Farhat, T., Iannotti, R.J.,
& Morton, B.G. (2010). Parent-child communication and substance use among
adolescents: do father and mother communication play a different role for sons
and daughters?. Addictive Behaviors,
35:426-431.
Rahayu, F.S. (2012). Cyberbullying sebagai dampak negative
penggunaan teknologi informasi. Jurnal
Sistem Informasi. 8(I). 22-29
Ramadhan, Arief. (2005). SQL Server dan Visual Basic 6.0.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Santrock, J.W. (2007). Remaja Edisi 11 Jilid 1. Erlangga :
Jakarta
Santrock (2003) John W. Adolescence. Perkembangan Remaja.
Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Wangid, M. N. (2016). Cyberbullying: Student’s Behavior in
Virtual Worlds. Jurnal of Guidance and
Counseling, 6(1), 38–48. https://doi.org/10.24127/gdn.v6i1.412
Wiyani, Novan A. (2012). Save Our Children From School Bullying. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
0 komentar:
Posting Komentar